Thursday, June 21, 2018

Perhatian: Tanaman-Tanaman ini berbahaya

Perhatian: Jangan Memelihara Tanaman Ini di Dalam Ruangan Anda




Di waktu malam mereka menyerap oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida yang dapat menyebabkan sakit kepala pada pagi hari, tanpa alasan yang jelas. Selain itu bau yang kuat dari bunga lili dapat menyebabkan insomnia. Kedua tanaman ini tidak harus disimpan di kamar tidur.Kita sering tidak menyadari bahaya dari tanaman-tanaman yang kita tanam untuk hiasan, selagi itu indah dipandang, kita pikir tak ada salahnya untuk dipelihara di dalam ruangan mau pun di pekarangan. Namun, sebenarnya ada beberapa tanaman yang biasanya diletakkan di dalam ruangan, berbahaya untuk kesehatan.
Ada beberapa tanaman indoor yang dapat bermanfaat bagi kesehatan Anda dan yang harus disimpan di dalam rumah. Tapi ada tanaman indoor yang tidak diinginkan atau bahkan kadang-kadang berbahaya untuk disimpan di dalam ruangan.
Daun dan bagian lain dari tanaman ini sangat sering mengandung racun. Beberapa dari mereka memiliki aroma yang sangat intens atau zat biologis aktif, yang dapat menyebabkan sakit kepala pada orang hipersensitif, atau bahkan mendapat reaksi buruk seperti alergi dan mereka bahkan mungkin tidak menyadari bahwa penyebabnya adalah tanaman indoor (ruangan).
Tapi, untungnya tidak banyak tanaman yang seperti ini. Akan dijelaskan tanaman yang paling sering ditemukan di rumah kita.
Tanaman yang tidak dianjurkan untuk disimpan di dalam ruangan di apartemen atau rumah kita:

Tanaman yang paling berbahaya adalah: Azalea, Clivia, Euphorbia milii (Goods Thorn) Monstera, Browallia (Browallia L.) Gloriosa, Philodendron, Oleander, Croton dan Dieffenbachia.
Sayangnya, tanaman indoor ini pula yang paling banyak diminati orang, hingga sering kita temui sebagai pemanis ruangan. Ternyata mereka adalah ancaman nyata terutama bagi anak-anak kecil.
1. Gloriosa: cairan dari tanaman Gloriosa sangat berbahaya bagi anak-anak, karena jika masuk ke dalam tubuh anak (jika anak menggigit daun) akan merangsang rambut rontok dan merusak ginjal.

2. Clivia mengandung licorine yang dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kelumpuhan. Dalam dosis kecil menyebabkan muntah dan keracunan.

3. Azalea: Jika Anda sengaja makan daun dari Azalea indah, bersiaplah untuk mengalami kram perut berkepanjangan dan kejang epilepsi.

4. Dieffenbachia, pohon dalam ruangan yang sangat bagus, juga sangat berbahaya. Cairannya beracun dan dapat menyebabkan keracunan yang serius pada anak-anak.


5. Daun Philodendron mengandung asam beracun. Jika seorang anak terkena getahnya, itu seperti diracuni.


7. Croton: Jika cairan daun tanaman ini terkena pada kulit Anda, itu dapat menyebabkan luka bakar yang parah, dan jika terkontaminasi ke dalam darah Anda bisa berujung kematian.


1. Lilies dan pakis: 

2. Sedap malam


Sedap malam (Polianthes tuberosa) juga memancarkan partikel yang merangsang indera penciuman. Orang yang menderita hipertensi, penyakit jantung, beresiko jika mereka bernapas menyebabkan ketidaknyamanan, pusing dan depresi.








Bunga Sedap Malam

Bunga Sedap Malam


Bunga sedap malam merupakan salah satu tanaman hias yang banyak dirawat di halaman rumah. Bunga sedap malam mempunyai nama ilmiah Polianthes tuberosa, sedangkan dalam bahasa Melayu disebut sundal malam. Tumbuhan dengan bunga cantik banyak dipergunakan untuk pembuatan parfum dengan mengambil minyak bunganya.

Tanaman sedap malam tidak berasal dari Indonesia melainkan dari Meksiko. Bunga yang kerap dipanggil dengan ratu malam ini bisa mekar pada malam hari. Selain itu, tanaman ini diberi nama sedap malam karena aroma wangi dan harum dari bunga ini lebih akan tercium pada malam hari.
Karena harum dari bunga sedap malam identik dengan sesuatu yang eksotis, manis, dan kompleks, banyak orang yang tertarik untuk menanamnya. Ada beberapa tahapan dalam kegiatan penanaman sekaligus perawatannya, berikut tanamtanaman.com bahas cara mananam dan merawat bunga sedap malam di dalam pot yang bisa dipelihara di sekitaran rumah Anda sebagai tanaman hias.

SYARAT TUMBUH Bunga SEDAP MALAM

Menanam tanaman sedap malam tidak sulit. Bunga sedap malam sebagai tanaman hias tidak terlalu manja terhadap tempat pertumbuhannya. Sedap malam bisa ditanam langsung pada media tanam tanah pada lahan atau menggunakan media tanam lain seperti pot atau polybag.
Bunga sedap malam merupakan tanaman yang bisa mengalami pertumbuhan baik dengan hasil bunga yang bagus apabila dibudidayakan di dataran rendah dengan rentang ketinggian antara 600 – 1.500 meter di atas permukaan laut. Jika penanamannya di dataran sedang, maka sedap malam akan menghasilkan bunga dengan tangkai panjang yang kurang kuat sehingga nilai estetikanya akan berkurang.
Tumbuhan hias yang mempunyai aroma khas pada bagian bunganya ini bisa tumbuh secara optimal jika ditanam di dataran rendah dengan suhu pH tanah 5 – 5,7. Apabila ternyata Anda tinggal di dataran tinggi, maka lebih baik pikirkan kembali untuk membudidayakan tanaman ini karena meski bisa tumbuh di daerah dataran tinggi, tampilan serta perkembangannya kurang baik.

PEMBIBITAN

Seperti kegiatan pembibitan beberapa jenis tanaman hias lain, bunga sedap malam juga memerlukan bibit yang harus dibiarkan dulu agar mudah bertunas. Carilah bibit sedap malam berupa umbi, tujuannya untuk memperbanyak tanaman sedap malam.
Pilih umbi dari tanaman yang sudah tua, setidaknya berusia 1,5 tahun dengan tinggi 1 – 2 cm. Setelah dapat umbinya, simpan selama satu bulan penuh agar nanti lebih cepat bertunas sehingga memperbesar kemungkinan tanaman tumbuh dengan sempurna saat ditanam.

PROSES PERSIAPAN MEDIA TANAM


Dikarenakan menanam bunga sedap malam yang kita bahas menggunakan media tampung berupa pot atau polybag, maka media tanam yang lebih ideal untuk mengisinya adalah campuran dari beberapa media tanam. Buatlah campuran media tanam dengan perbandingan 1:1:1 untuk tanah, arang sekam, dan pupuk kandang atau pupuk kompos.
Setelah media tanam tercampur dengan rata, berikutnya langsung Anda masukkan ke dalam pot atau polybag. Jangan lupa sebelumnya Anda gunakan pot atau polybag yang pada bagian bawahnya terdapat lubang-lubang kecil (drainase). Dengan demikian, maka risiko akar tanaman membusuk akibat penyiraman menjadi lebih kecil karena terdapat lubang drainase air di bawah media pertumbuhan.

PROSES PENANAMAN

Langkah terakhir adalah kegiatan penanaman. Proses menanam bunga sedap malam cukup mudah, Anda hanya perlu membuat lubang sedalam 5 cm pada media tanam yang sudah dimasukkan ke dalam pot. Setelah itu, masukkan umbi tanaman yang telah disimpan tadi ke dalam lubang, lalu tutup dengan tanah dan padatkan.
Ketika umbi sudah ditanam, langsung ambil air untuk menyiram tanaman tersebut. Lakukan penyiraman secara teratur agar umbi lebih cepat bertunas. Begitu sampai tahap ini, Anda hanya perlu melakukan perawatan untuk memperhatikan kelembaban lahan tanam agar tidak kering dan tidak terlalu basah.

MERAWAT BUNGA SEDAP MALAM

Untuk menumbuhkan bunga sedap malam agar tidak mudah layu dan juga awet, Anda perlu menerapkan cara merawat bunga sedap malam yang benar. Bunga sedap malam sama seperti tanaman lain yang memerlukan perawatan tertentu agar bisa tumbuh dengan maksimal.
Perawatan pertama yang harus Anda lakukan adalah menyiram rutin tanaman di pagi dan sore hari sampai umbi mengeluarkan tunas. Apabila tumbuhan mulai tumbuh besar, dosis penyiraman bisa dikurangi menjadi satu hari sekali, terserah mau di pagi atau sore hari saja.
Pada saat memasuki usia 6 bulan, lakukan pemupukan tambahan agar pertumbuhannya terdukung dengan baik. Untuk membuat pupuk, Anda bisa menggunakan pupuk kompos atau pupuk kandang. Selain dengan pupuk kandang, Anda juga bisa memakai pupuk buatan sendiri dari campuran pupuk urea dan TSP dengan perbandingan 1:1.
Perawatan sedap malam selain melakukan penyiraman dan pemberian nutrisi adalah memberikan tanaman asupan sinar matahari yang cukup. Sinar matahari diperlukan tanaman untuk melakukan proses fotosintesis atau pengolahan makanan. Dengan terpenuhinya semua kegiatan pemeliharaan, maka tanaman sedap malam Anda akan lebih cepat berbunga.

KHASIAT DAN MANFAAT BUNGA SEDAP MALAM

Setelah Anda menanam bunga sedap malam, maka sebaiknya Anda ketahui juga beberapa manfaat  bunga sedap malam.

Bisul dan Bengkak

Bagian akar bunga sedap malam bisa dipakai untuk memecahkan bisul serta mengurangi rasa sakit karena memar atau bengkak. Cara membuat ramuan pengobatannya ialah dengan mengambil akar sedap malam seperlunya, kemudian dicuci dengan air hingga bersih. Setelah bersih, tumbuk akar sampai halus lalu tempelkan pada area permukaan kulit yang terdapat bisul atau bengkak.

Katarak

Bagian kelopak bunga bisa dimanfaatkan oleh penderita katarak. Caranya, sediakan sekitar 50 kuntum bunga sedap malam, lalu rebus pada 1.500 cc air hingga mendidih. Diamkan hingga air dingin, setelah itu gunakan untuk mencuci mata.

Rematik

Meski bunga sedap malam digolongkan ke dalam tanaman hias, namun pada beberapa daerah banyak yang menjadikannya sebagai tanaman obat keluarga. Orang-orang memanfaatkan akar sedap malam untuk mengobati rematik. Caranya, sediakan 30 gram akar bunga sedap malam, gula merah, jahe merah sekitar 20 gram, dan 400 cc air. Rebus semua bahan, sampai mendidih, saring dan minum airnya dua kali sehari.

Radang Tenggorokan

Apabila Anda sedang tertimpa masalah radang tenggorokan, segera ambil akar sedap malam yang ada di halaman rumah Anda. Campurkan 20 gram akar sedap malam dengan 25 gram sambiloto segar ke dalam 600 cc air mineral. Rebus hingga air tersisa setengahnya, lalu saring dan minum ramuan herbal tersebut sehari dua kali masing-masing 150 cc.

Influenza

Di dalam bagian akar tanaman tersimpan banyak senyawa kimia yang memiliki fungsi pengobatan. Salah satunya untuk menyembuhkan influenza. Cara pemakaiannya, ambil sekitar 20 gram akar sedap malam, lalu siapkan juga 15 gram jahe dan 2 gram batang daun bawang putih. Rebus semua bahan tersebut pada 600 cc air hingga tersisa separuh, kemudian tunggu dingin dan minum sehari dua kali masing-masing dengan takaran yang sama.

Menambah Stamina

Bila aktivitas harian menguras banyak tenaga Anda, maka segara kembalikan dengan membuat ramuan penambah stamina dari bunga sedap malam. Cara membuatnya aalah dengan mencampurkan sedap malam dengan beberapa rempah. Siapkan 50 kuntum bunga sedap malam, 1 butir telur ayam, 100 gram udang, 50 gram kacang kapri, jahe dan bawang putih secukupnya. Tumis semua bahan tersebut dengan minyak goreng tanpa kolesterol dan maizena encer, masak hingga matang.

Campuran Parfum

Selain mempunyai manfaat kesehatan, ternyata sedap malam juga bisa membuat seseorang lebih percaya diri karena mempunyai aroma pakaian yang wangi. Benar sekali, sedap malam telah lama dipakai oleh suku Asmat untuk membuat minyak wewangian. Hingga kini, banyak sekali pembuat produk wewangian yang menggunakan campuran bahan yang salah satunya adalah bunga sedap malam.
Begitulah cara menanam bunga sedap malam, cara merawat beserta manfaat atau kemampuan dari bunga sedap malam. Pastikan Anda selalu memperhatikan pertumbuhan dan kondisi tanaman agar tidak layu dan senantiasa menjaga rumah Anda tetap asri dan wangi.

Wednesday, June 20, 2018

Bunga Bangkai

Bunga Bangkai

TITAN ARUM (AMORPHOPHALLUS TITANUM)


Genus    : Amorphophallus
Famili    : Araceae (talas-talasan)
Habitat    : hutan hujan di Sumatera
Status Perlindungan: Rentan dalam Daftar Merah IUCN
Jenis yang paling dikenal dari bunga bangkai adalah suweg raksasa atau Titan Arum (Amorphophallus titanum). Titan arum adalah flora endemik Pulau Sumatera, tersebar terutama di daerah Bengkulu dan Lampung dan masuk dalam kategori rentan (vulnerable) dalam daftar merah IUCN



Info Morfologi:
Walaupun ukuran bunga bangkai (Amorphophallus titanum) lebih besar daripada bunga Raflesia Rafflesia arnoldii, bunga bangkai bukan bunga terbesar, karena sebenarnya bunga bangkai terdiri dari ribuan bunga kecil yang tumbuh pada batang yang sama. Bunga bangkai bukan bunga tunggal, tetapi masuk dalam jenis bunga majemuk (inflorescence). Bagian yang menjulang (tongkol atau spadix) pada bunga tersebut sebenarnya terdiri dari koloni bunga kecil.  Walaupun sama-sama berbau busuk, bunga bangkai berbeda dengan bunga Raflesia, baik dari klasifikasi biologis, warna, cara hidup, dan siklus hidupnya.

Bunga bangkai mengalami 2 fase dalam hidupnya yang muncul secara bergantian dan terus menerus, yaitu fase vegetatif (aseksual) dan generatif (seksual). Selama fase vegetatif, di atas umbi akan muncul batang tunggal dan daun yang secara keseluruhan  dan sekilas mirip dengan pohon pepaya. Bunga bangkai dapat mencapai ketinggian sekitar 2 meter dengan rentang mahkotanya mencapai 1-5 meter. Meskipun demikian, Kebun Raya Cibodas Indonesia pernah mengumumkan bahwa bunga yang mekar di sana mencapai ketinggian 3,17 m pada tanggal 11 Maret 2004.

Proses pertumbuhan dari biji sampai nenjadi bunga memakan waktu tiga tahun. Apabila selama masa mekar bungai bangkai terjadi pembuahan, maka akan terbentuk buah-buah berwarna merah dengan biji pada bagian bekas pangkal bunga. Biji-biji ini bisa ditanam menjadi pohon pada fase vegetatif. Biji-biji inilah yang sekarang dibudidayakan.

Ekologi dan habitat
Bunga bangkai umumnya merupakan tumbuhan khas dataran rendah yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan subtropis mulai dari kawasan Afrika barat hingga ke Kepulauan Pasifik, termasuk di Indonesia.  Bunga Titan Arum dapat ditemukan pada habitat hutan tropis di Sumatera, khususnya pada ketinggian diantara 120 sampai 365 meter diatas permukaan laut

Ancaman
Populasi bunga bangkai liar sudah semakin berkurang karena habitat alaminya banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Penyebab lainnya adalah masyarakat yang merasa terancam dengan bau busuk bunga ini, lalu memotong bunga dan daunnya.
Terdapat sekitar 170 spesies bunga bangkai di seluruh dunia. Spesies yang terkenal di Indonesia diantaranya adalah:

•    Amorphophallus titanum
•    Amorphophallus gigas
•    Amorphophallus decussilvae
•    Amorphophallus beccarii
•    Amorphophallus campanulatus
•    Amorphophallus oncophyllus.

Perbedaan Bunga Rafflesia dan Bunga Bangkai



Banyak yang tidak tahu kalau bunga bangkai dan rafflesia berbeda.  Dari tampilannya memang sangat berbeda:
1. Nama Latin
Padma: Rafflesia Arnoldii.
Bunga Bangkai: Amorphpophallus titanium. Amorphos = bentuk yang rusak.Phallos = penis atau alat kelamin laki-laki.
2. Penemuan
Rafflesia: Ditemukan pertama kali oleh peneliti Joseph Arnold yang tergabung dalam ekspedisi Thomas Stamford Raffles di tahun 1818.  
 Bunga Bangkai ditemukan pertama kali di tahun 1878 oleh ahli botani Italia bernama Odoardo Beccari.
3. Penampakan
Rafflesia: Cebol, bunganya merekah ke samping, kelopaknya berjumlah 5, terlihat merah dan besar, menempel pada inang.
Bangkai: Bunganya memanjang ke atas, tampilannya tinggi semampai. Sebetulnya bunga bangkai adalah kumpulan dari ribuan bunga namun butuh pada batang yang sama dan diselubungi oleh bagian spathe atau semacam tudung untuk si bunga.
4. Tipe Tumbuhan
Rafflesia: Endoparasit pada tumbuhan merambat genus Tetrastigma sehingga tidak memiliki batang dan daun yang sesungguhnya. Jika inangnya mati, dia ikut mati. Berkembang dari bongol. Terdiri dari 22 jenis.
Bunga Bangkai: Marga Amorphophallus yang terdiri dari 170an spesies. Berkembang dari umbi, bunga bangkai merupakan sebetul-betulnya tanaman.
5. Warna

Rafflesia: Kemerahan, kadang oranye atau jingga dengan totol-totol putih
Bunga Bangkai: Merah keunguan, dengan kelopak bagian luar hijau-krem,
6. Umur
Rafflesia: Dari bonggol kecil hingga mekar butuh waktu hingga 14 bulan. Lalu mekarnya 5-7 hari dari berkembang hingga layu dan berwarna kehitaman.
Bunga Bangkai: Dari tunas hingga mekar sempurna, dibutuhkan waktu sekitar 3 atau 4 bulan namun untuk menjaga dan membuat si bunga jadi tunas, bisa sampai 4 tahun! Dan ketika sudah mekar, umurnya hanya 24 jam. Di jam-jam tersebut si bunga menguarkan bau, Bau busuk seperti bangkai. Usianya  bisa mencapai 40 tahun, namun mekarnya hanya 7-9 tahun sekali.
7. Ukuran
Rafflesia: Bunga terbesar di dunia, yang mana dapat tumbuh hingga diameternya 3 meter.
Bunga Bangkai: Marga Amorphophallus menjadi bunga tertinggi di dunia karena mencapai tinggi 3 meter lebih.

Wednesday, June 13, 2018

Pohon Cendana

Cendana



 Klasifikasi ilmiah:
Kingdom: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Santalales
Famili: Santalaceae
Genus:       Santalum
Spesies:  S. album
Nama binomial: Santalum album




Cendana  atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil kayu cendana dan minyak cendana.
Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi,
campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa
menyimpan aromanya selama berabad-abad.
 Konon di Sri Lanka kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah
putri-putri raja sejak abad ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak
ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Timor,
meskipun sekarang ditemukan pula di Pulau Jawa dan pulau-pulau
Nusa Tenggara lainnya.


 Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal kehidupannya.

Kecambahnya memerlukan pohon inang untuk mendukung
pertumbuhannya, karena perakarannya sendiri tidak sanggup
mendukung kehidupannya. 
Karena prasyarat inilah cendana sukar
dikembangbiakkan atau dibudidayakan.
Kayu cendana wangi (Santalum album) kini sangat langka dan harganya

sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India selatan
biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di Indonesia, kayu
cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya sejumlah

pakar aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi
(Santalum spicatum). Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan

kimia yang dikandungnya, dan oleh karena itu kadar harumnya pun
 berbeda.


Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif untuk membawa orang
 lebih dekat kepada Tuhan.

Minyak dasar kayu cendana, yang sangat mahal dalam bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan cara Ayurveda, dan

untuk menghilangkan rasa cemas.
 Ditinjau dari bahasa Belanda (sandelhout) dan bahasa Inggrisnya
 (sandalwood), kayu cendana diyakini berasal dari NTT khususnya Pulau
 Sumba. Hal ini dapat dilihat dari julukan Pulau Sumba, Sandalwood
Island. Julukan ini dibawa turun temurun dari zaman penjajahan
Jepang dan Belanda hingga sekarang.









Sunday, June 10, 2018

Kayu hitam

Kayu hitam sulawesi Manado



Klasifikasi ilmiah:

Kingdom:   PlantaeDivisi:         MagnoliophytaKelas:         MagnoliopsidaOrdo:          EricalesFamili:        EbenaceaeGenus: DiospyrosSpesies: D. Celebica Nama binomial: Diospyros celebica


Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica, yang diturunkan dari kata "celebes" (Sulawesi), dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu.
Ciri-ciri


Pohon, batang lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.
Daun tunggal, tersusun berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.
Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing ataukelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.

Profil kayu hitam sulawesi: loreng.
Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas sangat baik. Warna kayu coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Dalam perdagangan internasional kayu hitam sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony atau juga black ebony. Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu hitam, toetandu, sora, kayu lotong, dan kayu maitong. Kayu hitam berat dengan berat jenis melebihi air, sehingga tidak dapat mengapung.
Kayu hitam sulawesi terutama digunakan untuk mebel mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan.

Penyebaran dan konservasi
Jenis ini hanya terdapat di Pulau Sulawesi, di hutan primer pada tanah liat, pasir atau tanah berbatu-batu yang mempunyai drainase baik, dengan ketinggian mencapai 600 m dpl. Secara alami, kayu hitam sulawesi ditemukan baik di hutan hujan tropika maupun di hutan peluruh.

Kayu ini telah diekspor ke luar negeri semenjak abad ke-18. Pasar utamanya adalah Jepang. Pasar sekunder adalah Eropa dan Amerika Serikat.
Karena perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam, kini kayu hitam sulawesi telah terancam kepunahan. Ekspor kayu ini mencapai puncaknya pada tahun 1973 dengan jumlah sekitar 26,000 m3, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus menurun karena kekurangan stok di alam.
Untuk melindunginya, kini IUCN menetapkan statusnya sebagai rentan (vulnerable ) dan CITES memasukkannya ke dalam Apendiks 2.


Thursday, June 7, 2018

Pohon Jati

JATI

Klasifikasi ilmiah:
Kingdom:   Plantae
Divisi:         Magnoliophyta
Kelas:         Magnoliopsida
Ordo:          Lamiales
Famili:        Lamiaceae
Genus:       Tectona
Spesies:      T. grandis
Nama binomial: Tectona grandis



Jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 meter. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Dalam bahasa Inggris teak. Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.

Jati tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras. Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri. Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.

Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit antara lain leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp.,  leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.  Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini adalah adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami kekeringan. Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan.

Habitus


Pohon besar dengan batang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18–20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jatiblimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) tampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari jenis yang berbeda.
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60–70 cm × 80–100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Tajuk mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63.

Sifat ekologis dan penyebaran


Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun dimusim kemarau.
Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.
Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).
Iklim yang cocok yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200–3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.
Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati.
Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.
Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Menurut T.Altona, penanaman jati yang pertama dilakukan oleh orang hindu yang datang ke Jawa. Sehingga terkesan, jati didatangkan oleh orang hindu atau negeri hindulah tempat asli dari jati. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli botani, Charceus yang mengatakan bahwa jati di Pulau Jawa berasal dari India yang dibawa sejak tahun 1500 SM sampai abad ke- 7 Masehi. Kontroversi ini kemudian terjawab dengan penelitian marker genetik menggunakan teknik isoenzyme/pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara pada tahun 1994. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa jati yang tumbuh di Indonesia (Jawa) merupakan jenis asli. Jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam. Jati ini mengalami mekanisme adaptasi khusus sesuai dengan keadaan iklim dan edaphis yang berkembang puluhan hingga ratusan ribu tahun sejak zaman quarternary dan pleistocene di asia Tenggara. Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia


Di Indonesia, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.
Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada saat itu.
Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.
Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya dapat melebihi 30 cm.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa


Sejak 1927, hutan jati tercatat banyak menyebar di Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendengdan Gunung Muria , mulai dari kabupaten Jepara hingga ke ujung timur (Kabupaten Probolinggo). Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.
Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat dan Terbesar di daerah Hutan Kabupaten Blora, Grobogan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektare. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa dwipa.

Sifat kayu dan pengerjaan


Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan II dan kelas keawetan I-II. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.
Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.
Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras tampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.
Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.
Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.
Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati:
1.       Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
2.      Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3.      Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4.      Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
5.       Jati kembang.
6.      Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.
Kegunaan kayu jati

Permukaan mebel jati.
Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.
Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera pada abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.
Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.
Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.
Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa

hasil hutan kayu
Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.
Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling terkenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.
VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan semacam kerja paksa.
VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun, pasca kemerdekaan Indonesia, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.
Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).

Manfaat lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.
Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.
Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.
Banyak petani yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.
Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.
Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam.
Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh air.

Fungsi biologis

Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.
Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.
Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.
Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Kerabat Jati

Seluruhnya, ada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:
•        Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
•        Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.
Selain itu, ada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:
•        Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
•        Jati putih (Gmelina arborea)
•        Jati pasir (Guettarda speciosa)
•        jabon (antocephalus cadamba)